Jumat, 13 Juni 2008

Mereka Bunuh Diri karena Miskin

Kemiskinan terkadang membuat orang menjadi kehilangan akal sehat. Seperti halnya yang dialami Sudadi (41 tahun), warga Desa Windusari, Kab Banjarnegara, Jawa Tengah. Akhir Januari 2008 lalu, Sudadi nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di bawah plafon rumahnya. Nyawa ayah satu anak ini pun tak terselamatkan.
Korban yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan ini memang acap kali mengeluh. Kepada tetangganya, Sudadi sering curhat lantaran penghasilannya tak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tak hanya Sudadi yang mengambil jalan pintas seperti itu. Slamet (34), penarik becak di Banjarnegara, pada akhir Maret lalu juga mengakhiri hidupnya dengan cara serupa. Impitan ekonomi merupakan penyebab Slamet melakukan hal terlarang dalam agama tersebut.
Terus melangitnya harga-harga kebutuhan pokok dan di saat yang sama penghasilan Slamet sebagai penarik becak tak ikut naik, membuatnya gamang menjalani hidup. Apalagi, jumlah penarik becak makin bertambah karena nasib serupa Slamet tak hanya seorang. ''Padahal, saya tidak pernah menuntut apa-apa dari suami. Sudah dapat uang buat makan sehari-hari saja sudah senang,'' kata istri korban sembari menangisi kepergian suaminya.
Dua kasus bunuh diri akibat impitan ekonomi itu hanyalah sepenggal potret buram kehidupan rakyat miskin di Tanah Air yang tak kuat menanggung beban hidup. Mereka tak lagi berwacana soal dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tapi benar-benar menjadi korban dampak kebijakan tersebut.
Penghasilan warga miskin selamanya tak akan pernah mampu mengejar kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus meroket sebagai akibat dikuranginya subsidi BBM. Bagi yang tak tebal iman dan berpemahaman buruk terhadap agama, bunuh diri dianggap salah satu penyelesaian sederhana. Tapi, tidak demikian halnya bagi yang berpikiran jauh ke depan. Kasus bunuh diri yang terjadi di empat kabupaten di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, memang menunjukkan peningkatan jumlah. Dua kasus di atas hanya bagian dari 26 kasus bunuh diri lainnya.
Tak heran jika Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Banyumas, Kombes Pol Boy Salamudin, menyatakan keheranannya atas banyaknya kasus bunuh diri. Dia menyebutnya sebagai sesuatu yang luar biasa. Luar biasa. Karena, dalam tempo empat bulan, Januari-April 2008, sudah 28 orang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seutas tali dan beberapa botol racun menjadi jembatan para korban membinasakan dirinya.
Dan, yang membuat Kapolwil ini tambah terkejut, penyebab bunuh diri itu karena mereka terjerat kemiskinan. ''Setelah kita data dan rekap semua kasus bunuh diri yang terjadi di jajaran Polwil Banyumas, ternyata semuanya karena kemiskinan,'' ungkap Boy, pekan lalu.
Sebenarnya, berkaca dari kasus serupa pada 2007, jumlah bunuh diri selama empat bulan terakhir di 2008 itu sudah tinggi. Karena, selama setahun lalu, jumlah warga yang bunuh diri mencapai 59 kasus. Akar masalah bunuh diri itu, secara mayoritas, karena kemiskinan yang akut. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, ditambah penghasilan mereka yang tak berubah, bahkan bisa jadi menurun, menjadi 'penyakit sosial' tersendiri di masyarakat.
''Kalau saya lihat angka bunuh diri di Banyumas, sungguh memprihatinkan. Kita harus berbuat sesuatu untuk menghentikannya,'' ujar Kapolwil. Dan, ironisnya, daerah yang memiliki potensi warganya bunuh diri, seperti di Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara, merupakan wilayah dengan jumlah pondok pesantren tak sedikit. Semestinya, kehadiran pondok pesantren dapat menjadi benteng moral masyarakat, sekaligus tambatan mencari penghidupan agar tahan terhadap tekanan ekonomi yang kian berat.
Angka statistik di empat wilayah itu memang menunjukkan jumlah warga miskinnya tinggi. Hal ini diperlihatkan dengan derasnya aliran bantuan pemerintah, mulai dari beras untuk rakyat miskin (raskin) hingga bantuan langsung tunai (BLT). Secara geografis, lanjut Kapolwil, sebagian besar warga di empat kabupaten itu menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian dan perikanan.
Guna menekan jumlah warga bunuh diri, ujar Kapolwil, perlu penanganan secara serentak dan sistematis. Segenap komponen masyarakat, termasuk para ulama, harus bertindak nyata. Dalam hal ini, kepolisian bersama para ulama menggelar program khusus pembinaan mental. ''Dua bulan terakhir, saya dan para ulama mengadakan kegiatan ritual, seperti Yasinan setiap malam Jumat, di setiap kecamatan. Alhamdulillah, respons masyarakat cukup besar. Mudah-mudahan, ini menjadi sarana penguatan iman mereka.''
''Sesulit apa pun hidup ini harus dihadapi. Bunuh diri bukan penyelesaian terbaik,'' ungkapnya. Guru Besar Bidang Ekonomi, Universitas Gajayana Malang, Prof Dr M Saleh, mengatakan kesenjangan sosial hampir terjadi merata di seluruh pelosok negeri. Masyarakat yang miskin makin bertambah, apalagi setelah pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM. Jika warga miskin tak dapat mengendalikan diri, emosi akan mudah meluap. ''Sehingga, membuat orang tak lagi dapat berpikir jernih. Karenanya, mudah menjadi brutal dan bertindak anarkistis,'' katanya.
Pembinaan keagamaan tak bisa diandalkan semata, tapi juga dengan meminimalisasi kesenjangan ekonomi. ''Kalau kebutuhan ekonomi terpenuhi dengan baik, rakyat tak akan mudah emosi.'' wab/aji (Republika On Line, 13-06-2008)

0 komentar:

Pengurus RW 10

Ketua : Saidi
Wk Ketua : Sentot Mardadi
Bendahara : Budi Karyawan
Sekretaris 1 : Sutjipto
Sekretaris 2 : Ahmad HH

Sekretariat : Blok T10 Perum Griya Alam Sentosa Cileungsi BOGOR

Email : rw10.pasirangin@gmail.com
Mobile moderator : 08.595939.2020

Kalimat Mutiara

Disiplin adalah jembatan antara cita-cita dan pencapaiannya."
Jim Rohn, Pakar Motivasi dan Manajemen

"Seluruh nilai bijak manusia terangkum dalam dua kata: menanti dan mengharap."
Alexandre Dumas Pere (1802-1870), Sastrawan Prancis

"Kesabaran dan keteguhan menaklukkan segalanya."
Ralph Waldo Emerson (1803-1882), Pujangga-Esais AS

"Janganlah mencoba menjadi orang sukses. Jadilah orang yang bernilai."
Albert Einstein